: Agaknya aku mulai berani menulis "Djingga" di Djakarta
mulai hari ini semua tentang Djingga pasti kucairkan seperti warna biasa yang ada di semesta ini supaya langit sore di Djakarta ini bisa ku pendarkan pada batasnya
kalau kemaren aku tak mampu bermain ditemaram rembulan setelah Djingga, sekarang aku mau bermain bersama warna yang lain karena luas kebodohan tak kan pernah ada batasnya seperti langit senja sebelum malam
selama ini aku juga tidak pernah cerita kepada langit biru karena derai canda tawa itu pendek apalagi senyum manis matahari Djingga tak pernah bisa nanar pada celah-celah langit di sore hari yang biasa aku lewati
sekarang aku lagi ingat cerita itu pernah melewati garis cakrawala di sore ini karena romantis itu melirik malu-malu, beradu tatapan dan tertunduk lalu tersenyum hangat dan kemudian terbahak-bahak bersama dan ketika kita sadari itu kita kembali terdiam
sepanjang Djingga merona dan selama waktu jatuhnya senja di Djakarta, aku akan menyambut malam dengan kerendahan yang bersahaja
sore ini senja seperti biasa, Djingga juga biasa dan aku di Djakarta, hari ini tanggal tujuh bulan agustus tahun dua ribu delapan
No comments:
Post a Comment